Tugas psikometri iii
A.
Terapi
Rational Emotive Therapy
1. Konsep Dasar Konseling Rasional Emotif (RET)
Terapi Emotif Rasional adalah aliran
psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi,
baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan
jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri,
berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain,
serta tumbuh dan mengaktualkan diri. Akan tetapi manusia juga memiliki
kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran,
berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan yang tidak berkesudahan,
takhayul, intoleransi, perfeksionisme dan mencela diri serta menghindari
pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku
pada pola-pola tingkah laku lama yang disfungional dan mencari berbagai cara
untuk terlibat dalam sabotase diri.
Reaksi emosional seseorang sebagian
besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun
tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara
berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir
dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.Berpikir irasional
diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan
budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari
verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara
berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang
tepat.Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan
cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat,
serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan
dari Rational Emotive Therapy
Pandangan dari pendekatan rational
emotive tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep teori Albert Ellis.
Ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, kerangka pilar ini yang
kemudian dikenal dengan teori ABC, yaitu :
a. Antecedent
event (A)
Antecedent event (A) yaitu segenap
peristiwa luar yang dialami individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta,
kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga,
kelulusan bagi siswa dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecedent
event bagi seseorang.
b. Belief
(B)
Belif (B) yaitu keyakinan, pandangan,
nilai atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan
seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belif atau rB)
dan keyakinan yang tidak rasional (irasional belif atau iB). Keyakinan yang
rasional merupakan cara berfikir atau sistem keyakinan yang tepat, masuk akal
dan bijaksana. Sedangkan keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan yang
sistem berfikir seseorang yang salah, tidak masuk akal dan emosional.
c. Emotional
consequence (C)
Emotional consequence (C) merupakan
konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam membentuk
perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecedent event
(A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan
oleh beberapa variable antara lain dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB
maupun yang iB.
Dalam
buku Psikologi konseling dan terapy, Corey memberinama REBT dengan RET. Menurut
Corey (2005: 241) RET adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa
manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dengan jujur
maupun untuk berpikir irrasional dan jahat.
Pendekatan
rational emotive merupakan konseling yang menekankan kebersamaan antara
berpikir dengan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emoting), dan
berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang
mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam
cara berperasaan dan berperilaku (Winkell, 1997 : 429).
Berdasarkan pada apa yang telah
dijelaskan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konseling REBT adalah suatu
bentuk bantuan terhadap klien melalui konseling individu yang berusaha memahami
manusia sebagaimana adanya yang berhubungan dengan emosi, kognisi, dan perilaku
yang memiliki potensi untuk berpikir rasional maupun irrasional dan konseling
REBT ini merubah keyakinan irrasional menjadi rasional.
2. Unsur - unsur Rasional
Emotif Therapy (RET)
a.
Tujuan Terapi
Dalam kontek teori kepribadian, tujuan konseling merupakan efek (E) yang
diharapkan terjadi setelah dilakukan intervensi oleh konselor (desputing/D).
oleh karena itu teori TRE tentang kepribadian dalam formula A-BC dilengkapi
pleh Ellis sebagai teori konseling menjadi A-B-C-D-E(antecedent event, belief,
emotional consequence, desputing, dan effect). Efek yang dimaksud adalah
keadaan psikologis yang diharapkan terjadi pada klien setelah mengikuti proses
konseling.
b.
Peranan dan
fungsi terapi
Aktivitas-aktivitas terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud
utama, yaitu membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasangagasan yang
tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis debagai penggantinya.
Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang
rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang
irasional dan tahayul yang berasal dari orangtuanya maupun dari kebudayaannya.
c.
Hubungan antara
terapi dan klien
Pola
hubungan pada konseling ini berbeda denagn sebagian besar bentuk terapi yang
lain. ide dasar pengembangan hubungan adalah menolong klien dalam hal
menghindari sifat mengutuk diri sendiri. Disini terapis harus menunjukkan sifat
penerimaan mereka secara penuh,tidak ada hubungan yang membertikan arti utama
paad kehangatan pribadi dan pengertian empatik, dengan asumsi empatik bisa
menjadi kontra produktif karena bisa memupuk rasa ketergantungan. Tetpi terapis
menekankan hubungan saling mengerti dan membangun kerjasama dan terapis
biasanya sanagt terbuka dan langsung dalam mengungkapkan keyakinan dan nilai
mereka sendiri (Corey, 1995: 475-476).
d.
Tehnik dan
Proses Terapi
1)
Teknik Emotive
Menurut Corey (1995) ada beberapa teknik emotif,
yaitu: (1) assertive training; digunakan untuk melatih, mendorong dan
membiasakan klien untuk secara terus menerus menyesuaikan dirinya dengan pola
perilaku sesuai dengan yang diinginkannya, (2) sosiodrama; digunakan untuk
mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan klien (perasaanperasaan
negatif) melalui suatu suasana yang dramatisasikan sehingga klien dapat secara
bebas mengungkapan dirinya sendiri baik secara lisan, tulisan ataupun melalui
gerakan-gerakan dramatis, (3) self modeling, digunakan dengan meminta klien
untuk berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk menghilangkan
perasaan atau perilaku tertentu. (4) irnitasi, digunakan dimana klien diminta
untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan
maksud menghadapi perilakunya sendiri yang negative.
2)
Teknik
Behavioristik
Ada dua teknik behavioristik yaitu; (1). Reinforment,
digunakan untuk mendorong klien kearah perilaku yang lebih rasional dan logis
dengan jalan memberikan pujian verbal ataupun punishment, (2) Social modeling,
digunakan untuk menggambarkan perilaku –perilaku tertentu, khususnya
situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan sosial,
interaksi dengan memecahkan masalah-masalah.
3)
Teknik Kognitif
Teknik kognitif yang cukup dikenal adalah Home Work
Assigment atau teknik tugas rumah, digunakan agar klien dapat membiasakan diri
serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntun pola perilaku
yang diharapkan.(Corey, 1995).
e.
Kelebihan dan Kekurangan Rational
Emotive Therapy
1)Kelebihan
1)Kelebihan
Pendekatan
ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan demikian,
perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
Berfikir
logis yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi masalah yang
lain. Klien merasa dirinya mempunyai
keupayaan intelaktual dan kemajuan dari cara berfikir.
2)Kekurangan
Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logis dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu cerdas otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logis dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu cerdas otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
Ada sebagian
klien yang begitu terpisah dari realitas sehingga usaha untuk membawanya ke alam
nyata sukar sekali dicapai. Ada juga
sebagian klien yang memang suka mengalami gangguan emosi dan bergantung
kepadanya dalam hidupnya, dan tidak mau berbuat apa-apa perubahan lagi dalam
hidup mereka.
B.
Terapi
Behavioral
Perkembangan
pendekatan behavior diawali pada tahun 1950-an dan awal 1960-an sebagai awal
radikal menentang perspektif psikoanalisis yang dominan. Pendekatan ini
dihasilkan berdasarkan hasil eksperimen para behaviorist yang memberikan
sumbangan pada prinsip-prinsip belajar dalam tingkah laku manusia. Pendekatan
ini memiliki perjalanan panjang mulai dari penelitian laboratorium terhadap
binatang hingga eksperimen terhadap manusia. Secara garis besar, sejarah
perkembangan pendekatan behavioral terdiri dari tiga trend utama, yaitu: trend
I: kondisional klasik (classical conditioning), trend II: kondisioning operan
(operant conditioning), dan trend III: terapi kognitif (kognitif therapy)
(Corey, 1986)
Terapi tingkah laku adalah pendekatan penerapan aneka
ragam teknik dan prosedur yang berlandaskan pada berbagai teori tentang belajar
dalam usaha melakukan pengubahan tingkah laku. Dalam penyelesaian masalah,
kondisi masalah harus dispesifikkan. Saat ini, bentuk pendekatan ini banyak di
gunakan karena penekanannya pada perubahan tingkah laku dimana tingkah laku tersebut
bisa didefinisikan secara operasional, diamati dan diukur.
1. Konsep Dasar
Konseling Rasional Emotif (RET)
Gerald
Corey menjelaskan bahwa terapi behavioral adalah pendekatan-pendekatan terhadap
konseling dan psikoterapi yang berkaitan dengan pengubahan tingkah laku.
Pendekatan, teknik, dan prosedur yang dilakukan berakar pada berbagai teori
tentang belajar. Terapi behavior adalah
salah satu teknik yang digunakan dalam menyelesaikan tingkah laku yang
ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup, yang dilakukan melalui proses belajar agar bisa
bertindak dan bertingkah laku lebih efektif, lalu mampu menanggapi situasi dan
masalah dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Aktifitas inilah yang
disebut sebagai belajar.
Sebelum kita
mengulas tentang proses dan penerapan dari terapi ini, kita perlu tahu
pandangan dasar dari terapi ini pada manusia itu sendiri. Dimana landasan
pijakan terapi tingkah laku ini yaitu pendekatan behavioristik, pendekatan ini
menganggap bahwa “Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan
sosial budayanya. Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari”. Ini merupakan
anggapan dari behavioristik radikal. Namun behavioristik yang lain yaitu
behavioristik kontemporer, yang merupakan perkembangan dari behavioristik
radikal menganggap bahwa setiap individu sebenarnya memiliki potensi untuk
memilih apa yang dipelajarinya. Ini bertentangan dengan prinsip behavioris yang
radikal, yang menyingkirkan kemungkinan individu menentukan diri. Namun,
meskipun begitu, kedua behaviorisme ini tetap berfokus pada inti dari
behaviorisme itu sendiri yaitu bagaimana orang-orang belajar dan
kondisi-kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka.
a.
PANDANGAN TENTANG MANUSIA
Pendekatan
behavioral didasarkan pada pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia yang
menekankan pada pentingnya pendekatan sistematik dan terstruktur pada
konseling. Pendekatan behavioral berpendapat bahwa perilaku dapat dimodifikasi
dengan mempelajari kondisi dan pengalaman. Menurut Latipun (2010) mengatakan
bahwa pandangan tentang manusia pada pendekatan behavioristik:
1)
Memandang manusia secara intrinsic
bukan sebagai baik atau buruk, tetapi sebagai hasil dari pengalaman yang
memiliki potensi untuk segala jenis perilakunya.
2)
Menusia mampu untuk mengkonsepsikan
dan mengendalikan perilakunya.
3)
Manusia mampu mendapatkan perilaku
baru.
4)
Manusia dapat mempengaruhi perilaku
orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi orang lain.
b.
KONSEP DASAR PENDEKATAN
BEHAVIORISTIK
Pendekatan
behavioral didasari oleh pandangan ilmiah
tetang tigkahlaku manusia yaitu pendektan ynag sistemati dan terstruktur
dala konseling. Pandangan ini melihat indvidu sebagai produk dari kondisioning
sosial, sedikit sekali melihat potensi manusia sebagai produse lingkungan.
(Corey, 1986, p. 175). Pada awalnya pendekatan ini hanya mempercayai hal yang dapat
diamati dan dukur sebagai sesuat yang sah dalam pengukuran keribadian. Kemudian
pendekatan ini dikembagkan lebi lanjut yang mulai menerima fenomena
kejiwaan yang abstrak seperti id, ego,
dan ilusi endekatan ini memendang perilaku yag malasua sebagai hasil belajar
dari lingkngan secara keliru.
c.
PERILAKU BERMASALAH MENURUT
PENDEKATAN BEHAVIORISTIK
Menurut
Latipun (2010), perilaku yang bermasalah dalam
pandangan behavior dapat dimaknakan sebagai perilaku atau
kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku tidak tepat, yaitu perilaku yang
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang salah penyesuaian terbentuk melalui proses
interaksi dengan lingkungannya. Dan perilaku juga dikatakan mengalami salah
penyesuaian jika tidak selamanya membawa individu konflik dengan lingkungannya.
Perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah perilaku
yang bukan sekadar memperoleh kepuasan pada jangka pendek, tetapi perilaku yang
tidak menghadapi kesulitan-kesulitan yang lebih luas, dan dalam jangka yang
lebih panjang.
d.
TEKNIK FLOODING
Pembanjiran
(flooding) merupakan teknik modifikasi perilaku berdasarkan prinsip teori yang
dikemukakan oleh B.F. Skinner. Pembanjiran (flooding) adalah membanjiri konseli
dengan situasi atau penyebab kecemasan atau tingkah laku tidak dikehendaki,
sampai konseli sadar bahwa yang dicemaskan tidak terjadi. Pembanjiran harus
dilakukan hati-hati karena mungkin akan terjadi reaksi emosi sangat tinggi.
Pembanjiran sesuai untuk menangani kasus fobia. Tujuannya untuk menurunkan
tingkat rasa takut yang ditimbulkan, dengan menggunakan stimulus yang
dikondisikan (condition stimulus) yang dimunculkan secara berulang-ulang
sehingga terjadi penurunan, tanpa member penguatan (reinforcement).
e.
CARA-CARA PENERAPAN FLOODING
Menurut
Komalasari (2011) terdapat dua cara melakukan pembanjiran yang dijadikan
alternatif bagi konselor dalam menerapkan flooding:
1)
Invivo
Konselor
mencoba membawa konseli hadir pada situasi atau stimulus yang menimbulkan rasa
takut dengan segera selama terapi berlangsung, dilakukan selama 1 jam atau
lebih setiap sesinya, disertai pencegahan terhadap perilaku untuk menghindari
atau lari dari situasi tersebut. Pada kasus-kasus dengan tingkat rasa takut
yang sangat tinggi, flooding dapat dilakukan secara bertahap. Misal takut akan
ketinggian, dimulai dengan mengajak konseli melihat ke jendela dari ruang
lantai 1, lantai 2, sampai ke lantai 10.
2)
Imajeri
Stimulus
yang menakutkan bisa dihadirkan juga dengan membayangkan, konselor akan membuat
gambaran situasi yang semakin meningkatkan rasa takut dan semakin mencemaskan.
Pengalaman konseli membayangkan tanpa disertai akibat yang dahsyat dapat
menurunkan tingkat rasa takutnya, dan ia akan siap menghadapi situasi
sebenarnya. Tetapi berdasarkan pendapat ahli, proses mengalami langsung lebih
efektif. Teknik ini basa digunakan untuk kasus-kasus fobia, obsesif, psikotik.
Teknik flooding dikembangkan oleh Stampfl (dalam Komalasari, 2011) dengan nama
terapi implosif. Langkah-langkah terapi implosif adalah:
a) Pencarian
stimulus yang memicu gejala.
b) Menaksir
bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala membentuk
perilaku konseli.
c) Meminta
konseli membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkan tanpa disertai celaan
atas kepantasan situasi yang dihadapi.
d) Bergerak
semakin dekat kepada ketakutan paling kuat yang dialami konseli, dan meminta
konseli untuk membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya.
e) Mengulang
prosedur tersebut sampai kecemasan tidak muncul lagi dalam diri konseli.
f. PENJENUHAN
Menurut
Komalasari (2011), penjenuhan (satiation) adalah varian dari flooding untuk
self control. Kontrol diri (self control) berasumsi bahwa tingkah laku
dipengaruhi variabel eksternal. Kontrol diri adalah bagaimana individu
mengontrol variabel eksternal yang menentukan tingkah laku. Hal ini dilakukan
dengan memindahkan atau menghindar (removing/avoiding) dari situasi berpengaruh
buruk. Memperkuat diri (reinforce oneself) yaitu memberi reinforcement kepada
diri sendiri, terhadap “prestasi” dirinya. Janji nonton kalau prestasi belajar
baik. Self punishment yaitu menghukum diri sendiri bisa hukuman fisik atau
mengurangi hak-haknya seperti menonton TV atau membeli makanan atau barang yang
diinginkannya.
Penjenuhan
(satiation) adalah membuat diri jenuh terhadap suatu tingkah laku, sehingga
tidak lagi bersedia melakukannya. Menurunkan atau menghilangkan tingkah laku
yang tidak dinginkan dengan memberikan reinforcement yang semakin banyak dan
terus menerus, sehingga individu merasa puas dan tidak akan melakukan tingkah
laku yang tidak diinginkan lagi.
2. Penerapan Terapi : Teknik dan Prosedur
a.
Training Relaksasi, merupakan
teknik untuk menanggulangi stress yang dialami dalam kehidupan sehari-hari,
yang mana seringnya dimanifestasikan dengan simtom psikosomatik, tekanan darah
tinggi dan masalah jantung, migrain, asma dan insomnia. Tujuan metode ini
sebagai relaksasi otot dan mental. Dalam teknik ini, klien diminta rileks dan
mengambil posisi pasif dalam lingkungannya sambil mengerutkan dan merilekskan
otot secara bergantian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menarik nafas yang
dalam dan teratur sambil membanyangkan hal-hal yang menyenangkan.
b.
Desensitisasi Sistemik, merupakan teknik yang
cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi juga dapat diterapkan pada penanganan
situasi penghasil kecemasan seperti situasi interpersonal, ketakutan menghadapi
ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik
serta impotensi dan frigiditas seksual. Teknik ini melibatkan relaksasi dimana
klien dilatih untuk santai dan keadaan-keadaan santai dengan
pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang
divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang
sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. Tingkatan
stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan
stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara
stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan tersebut terhapus.
c.
Latihan Asertif, merupakan
teknik terapi yang menggunakan prosedur-prosedur permainan peran dalam terapi.
Latihan asertif ini akan membantu bagi orang-orang yang:
• Tidak mampu mengungkapkan
kemarahan/perasaan tersinggung
• Menunjukkan kesopanan yang berlebihan
dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya.
• Memiliki kesulitan untuk mengatakan
‘tidak’.
• Mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya.
• Merasa tidak punya hak untuk memiliki
perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Fokus terapi
ini adalah mempraktekkan kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh melalui permainan
peran sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketidakmemadaiannya
dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara
terbuka disertai kenyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi
yang terbuka itu.
d.
Pencontohan (modelling
methods), melalui proses pembelajaran observasi, para klien dapat belajar untuk
melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan tanpa proses belajar
trial-and-error. Teknik dapat dilakukan untuk memodifikasi perilaku. Contohnya,
seseorang yang takut ular, maka ketakutannya dapat dihilangkan atau direduksi
dengan melihat orang lain yang tidak takut menghadapi ular.
e.
Self-Management Programs,
Teknik ini mencoba menyatukan unsur kognitif dalam proses perubahan perilaku,
dengan asumsi bahwa klienlah yang paling tau apa yang mereka butuhkan. Konselor
yang mempertimbangkan apakah sesi terapi berjalan baik atau tidak, disini
konselor merupakan mediator.
f.
Self-Directed Behavior,
merupakan teknik dimana perubahan perilaku diarahkan pada diri klien itu
sendiri. Klienlah harus merasa bahwa terapi ini penting untuk mengatasi
masalahnya. Contohnya, dalam masalah obesitas. Hal yang dapat dilakukan yaitu
misalnya meminta klien untuk menuliskan program perubahan dirinya dalam diari.
Jam berapa dan berapa kali ia akan makan. Jika ia tidak berhasil, ia harus
menuliskan perasaan dan sebab-sebab hal tersebut didalam diarinya. Atau jika
program telah dijalankan, klien dapat memberikan hadiah untuk dirinya sendiri
misalnya pergi shopping.
g.
Multimodal Terapi, didasarkan
pada asumsi bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan klien selama
terapi maka akan semakin sedikit kemungkinan klien akan mengalami masalah
lamanya. Teknik ini menggunakan pendekatan BASIC ID (behavior, affective respons,
sensations, images, cognitions, interpersonal relationships, dan
drugs/biology).
C.
Terapi
kelompok
2. Konsep Dasar Group Therapy
Terapi Kelompok
merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama
dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh
seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok
adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan
stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal. Keuntungan yang diperoleh
individu melalui terapi aktivitas kelompok ini adalah dukungan (support),
pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan
hubungan interpersonal dan meningkatkan uji realitas sehingga terapi aktivitas
kelompok ini dapat dilakukan pada karakteristik gangguan seperti : gangguan
konsep diri, harga diri rendah, perubahan persepsi sensori halusinasi, klien
dengan perilaku kekerasan atau agresif dan amuk serta menarik diri/isolasi
sosial.
Selain itu,
dapat mengobati klien dalam jumlah banyak, dapat mendiskusikan masalah-masalah
secara kelompok, menggali gaya berkomunikasi, belajar bermacam cara dalam
memecahkan masalah, dan belajar peran di dalam kelompok. Namun, pada terapi ini
juga terdapat kekurangan yaitu : kehidupan pribadi klien tidak terlindungi,
klien kesulitan mengungkapkan masalahnya, terapis harus dalam jumlah banyak.
Dengan sharing pengalaman pada klien dengan isolasi sosial diharapkan klien
mampu membuka dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga
keterampilan hubungan sosial dapat ditingkatkan untuk diterapkan sehari-hari.
Terapi kelompok adalah terapi yang dilakukan melalui sebuah kelompok namun
memiliki kegiatan yang terstruktur dan memberikan efek terapeutik bagi anggotanya.
Efek terapeutik yaitu kegiatan yang dilakukan dalam kelompok akan memberikan
efek terapi kepada masing-masing anggota. Mereka akan belajar untuk membuka
diri mereka, menceritakan masalah mereka, mendengar pendapat atau saran dari
anggota lain.
3. Cara Melakukan Terapi Kelompok
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam
terapi kelompok adalah:
a.
Tahap Intake
Tahap ini ditandai oleh adanya pengakuan dari klien mengenai
masalahnya yang mungkin tepat dipecahkan
melalui terapi kelompok ataupun terapis juga dapat menelaah situasi yang
dialami klien. Tahap intake disebut juga sebagai tahap kontrak antara terapis
dengan klien, karena pada tahap ini terdapat persetujuan dan komitmen antara
terapis dan klien untuk melakukan kegiatan-kegiatan perubahan tingkah laku
melalui terapi kelompok.
b.
Tahap Assesmen dan Perencanaan
Intervensi
Terapis dan para anggota terapi (klien) mengidentifikasi permasalahan,
tujuan-tujuan kelompok serta merancang rencana tindakan pemecahan masalah. Pada
tahap ini juga dibahas tempat atau ruangan pelaksanaan terapi kelompok,
frekuensi pertemuan, lama pertemuan dan waktu yang dibutuhkan.
c.
Tahap Penyeleksian Anggota
Penyeleksian anggota untuk membentuk suatu kelompok harus dilakukan
terhadap orang-orang yang paling mungkin mendapatkan manfaat dari
keterlibatannya dalam kelompok. Dalam pembentukan kelompok harus
mempertimbangkan tipe permasalahan, persamaan tujuan, persamaan jenis kelamin
untuk masalah-masalah tertentu dan tingkatan umur.
Minat dan ketertarikan individu terhadap kelompok juga penting
diperhatikan, karena anggota yang memiliki perasaan positif terhadap kelompok
akan terlibat dalam berbagai kegiatan kelompok secara teratur.
d.
Tahap Pengembangan Kelompok
Norma-norma, harapan-harapan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan kelompok akan
muncul dalam tahap ini sehingga dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
aktivitas serta relasi yang berkembang dalam kelompok. Oleh karena itu, pada
tahap ini terapis memegang peranan penting untuk dapat membantu kelompok
mencapai tujuan.
1)
Taraf permulaan. Dalam langkah
ini, terapis perlu membicarakan apakah waktu yang telah ditentukan dan
disepakati bersama itu tetap bisa dilaksanakan, lalu menyampaikan bagaimana
komunikasi antara anggota yang satu dengan yang lainnya karena tiap anggota
harus saling menghormati agar apabila anggota yang satu sedang berbicara maka
anggota yang lain dapat memperhatikan, adanya keterbukaan antara anggota yang
satu dengan yang lain serta dengan terapis, lalu menyampaikan bagaimana
komunikasi antara anggota kelompok dengan terapis, serta adanya kesepakatan
untuk menjaga kerahasiaan.
2)
Mengembangkan dan memelihara
situasi kelompok.
3)
Melakukan diskusi, saling
berbagi pendapat dan pengalaman, serta memecahkan masalah
e.
Tahap Evaluasi dan Terminasi
Dalam langkah ini terapis perlu melihat sejauh mana keberhasilan terapi
kelompok yang telah dijalankan melalui evaluasi. Berdasarkan hasil evaluasi,
maka dilakukanlah terminasi atau pengakhiran kelompok. Terminasi dilakukan
berdasakan pertimbangan dan alasan mengenai tujuan individu maupun kelompok
tercapai, waktu yang ditetapkan telah berakhir, kelompok gagal mencapai
tujuan-tujuannya, serta keberlanjutan kelompok dapat membahayakan satu atau
lebih anggota kelompok.
3. Manfaat Terapi Kelompok
a.
Dapat mengidentifikasi masalah
bersama orang lain yang memiliki permasalahan yang sama
b.
Dapat membantu klien untuk
meningkatkan hubungan interpersonal dengan klien lain sehingga setiap dari
mereka dapat saling mendukung
c.
Dapat membantu menghilangkan
perasaan-perasaan terisolasi dalam diri klien
d.
Dapat membantu menghilangkan
kecemasan-kecemasan yang dirasakan oleh klien
e.
Dapat mendorong klien untuk
membicarakan perasaan-perasaan batinnya dengan sepenuh hati
f.
Dapat membantu klien untuk
melepaskan ketegangan dalam diri yang telah dipendam
g.
Dapat meningkatkan klien untuk
berpartisipasi serta bertukar pikiran dan masalah dengan orang lain.
4. Kasus-kasus yang Diselesaikan Dalam Terapi Kelompok
Terapi kelompok dapat menjadi terapi pilihan untuk orang yang masalahnya
terutama antarpribadi dan yang tidak mengalami gangguan psikiatrik utama.
Terapi kelompok juga baik untuk orang yang hanya memerlukan tempat dimana ia
dapat mencoba perilaku yang baru dan mempraktekkan keterampilan sosial yang
baru. Berikut kasus-kasusnya :
a.
Kecanduan alcohol, obat-obat
terlarang dan rokok
b.
Kekerasan seksual
c.
Stress dalam menghadapi
penyakit yang di derita
d.
Trauma
e.
Korban bullying
f.
Insomnia
g.
Permasalahan hubungan sosial
h.
Orang yang mengalami masalah
emosional
i.
Siswa yang mengalami kesulitan
belajar
Referensi:
Corey
Gerald. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan E. Koeswara. Bandung: Refika
Aditama.
Corey,
Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
PT Refika Aditama.
Gunarsa, Singgih. (2012). Konseling dan psikoterapi. Jakarta: BPK
Komalasari, Gantina. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT. INDEKS.
Komalasari, Gantina. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT. INDEKS.
Mappiare, Andi AT, 2009, Pengantar Konseling dan
Psikoterapi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Semiun,
Y. (2006). Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: KANISIUS
Semiun, Y.
(2006). Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius.
Sunardi, Permanarian, & Assjari M. (2008). Teori konseling. Bandung: PLB FIP UPI.
Tomb, D.A.
(2003). Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC
W.S.
Winkel dan M.M. Sri Hastuti. (2004) Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi
www.psychologymania.com