KASUS HUMANISTIK
Kasus:
Seorang
mahasiswa baru berinisial A.D.I kesulitan menyesuaikan diri sebagai mahasiswa. A.D.I, berusia 19 tahun, mahasiswa tingkat 2, mengalami ancaman DO. Dari hasil
evaluasi beberapa
semester pertama, ternyata nilai dari semua mata
kuliah yang di ambilnya tidak memenuhi persyaratan lulus ke tingkat 2.
Seorang teman
dari jursan lain N.J
memebritahu satu hal dengan
tujuan agar A.D.I bisa mengejar nilainya, dengan belajar
yang lebih alkifagartidak terancam DO.
Dari hasil evaluasi 4 mata kuliahnya, A.D.I memperoleh beberapa nilai C dan nilai D. Dia sangat menyadari bahwa dia akan sulit untuk mendapat nilai yang baik untuk beberapa mata kuliahnya tersebut.
Dari hasil evaluasi 4 mata kuliahnya, A.D.I memperoleh beberapa nilai C dan nilai D. Dia sangat menyadari bahwa dia akan sulit untuk mendapat nilai yang baik untuk beberapa mata kuliahnya tersebut.
Kenyataannya ini membuat A.D.I merasa sangat stress, hingga kadang
dia merasaingin bunuh diri, karena merasa takut gagal.Dalam pergaulan dengan
teman-temannya A.D.I selalu merasa minder. Ketika kuliah
di kelas besar, dia selalu memilih duduk di barisan yang paling belakang dan dia
jarang bergaul dengan teman-teman seangkatannya. Dia selalu merasa dirinya tertinggal, karena menurutnya A.D.I selalu berpikir negatif
tentang dirinya.
Akibatnya A.D.I selalu menyendiri dan lebih senang berada menyendiri dan
langsung pulang ke rumah jika selesai kuliah daripada bergaul dengan teman-temannya. A.D.I lebih nyaman ketika masih duduk di
bangku SMA, dimana kelasnya lebih kecil dan hubungan di antara siswa di
rasakannya lebih akrab.
Di rumah A.D.I, merupakan anak ke 2 dari dua
bersaudara (keduanya Lelaki).
Kakaknya berusia 2 tahun lebih tua darinya, dan mempunyai prestasi akademis
yang cukup “cemerlang” di setiap yang dia lakukan. Walaupun orangtua tidak pernah
membandingkan kemampuan ke dua anaknya, tetapi A.D.I merasa bahwa kakaknya mempunyai
kelebihan di segala bidang, di bandingkan dengan dirinya.
Analisa:
Menurut aliran humanistik-eksistensial kasus “A.D.I” bukan hanya sekedar masalah yang
bersifat individual, tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan
masyarakat atau lingkungan sosialnya. Jika “A.D.I” melihat perbedaan yang sangat luas
antara pandangannya tentang dirinya sendiri dengan yang diinginkannya maka akan
muncul perasaan tidak kuat
dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan
atau anxiety.
Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis kasus “A.D.I” terletak pada konsep diri; yang
terjadi sehubungan dengan adanya konflik antara konsep diri yang sesungguhnya (real self) dengan
diri yang diinginkan (ideal self). Hal ini muncul sehubungan dengan tidak adanya
kesempatan bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya sehingga
perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau
kendala dalam menjalani hari-hari dikehidupan selanjutnya, ia akan mengalami
kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif.
Menurut teori humanistik-eksistensial yang melihat kasus “A.D.I” sebagai hasil konflik diri yang
terkait dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka
teori ini lebih menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged
self). Tehniknya sering disebut sebagai client centered therapy yang
berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang positif yang dapat
dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi
dirinya semaksimal mungkin.
Setiap permasalahan yang dialami oleh setiap individu
sebenarnya hanya dirinyalah yang paling mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya.
Oleh karena itu, “A.D.I”
sendirilah yang paling berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu
dirinya. Karena menurut pandangan teori ini sebagai hasil dari belajar (belajar
menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu dilakukan pembelajaran ulang agar
terbentuk pola perilaku baru. Tehnik yang digunakan adalah systematic
desentisitization, yaitu mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep
hirarkhi ketakutan, menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari
ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang lebih kompleks.
Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat digunakan
dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara pemberian reward –
jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan ataupun punishment –
jika tidak ada perubahan perilaku atau justru menampilkan perilaku yang
bertolak belakang dengan rencana perubahan perilaku.
KASUS
LOGOTERAPI
Kasus:
Kasus yang akan saya tulis mengenai
kasus Pasca Trauma.
pada
awalnya “R”
memiliki seorang sahabat
sekaligus kekasihnya. Lalu R mengalami kecelakaan sehingga dia kehilangan seseorang yang berarti baginya karena dirinya.
Seketika R
syok beberapa waktu karena
dia tak dapat menghadirkan kembali sesuatu yang sudah
tiada.
Pada akhirnya R mengalami depresi, hingga trauma terhadap kendaraan, serta marah akan setiap perbuatannya, bahkan tidak dapat menerima keadaan sampai
satu hari R ingin bunuh diri karena merasa dirinya
sudah tidak ada gunanya
lagi.
Subjek
sangat marah hingga memutuskan berhenti berhubungan dengan orang lain di kehidupannya.
Subjek menjadi lebih tertutup dari teman-temannya bahkan keluarganya. Subjek sangat
merasa depresi dan shock hingga sangat membutuhkan banyak bantuan.Tidak hanya itu R merasa kejadian yang ia alami adalah kesalahan dirinya, dan menyalahkan Tuhan atas apa
yang terjadi pada dirinya
mengapa bukan dia yang meninggal saat itu.
Analisa:
Pembahasan
Untuk menolongR dari apa
yang dialaminya, langkah pertama adalah Intensi Paradoksikal. Teknik
intensi paradoksikal adalah teknik dimana R diajak melakukan sesuatu yang paradoks
dengan sikap sebagai klien
terhadap situasi yang dialami. Jadi R
diajak mendekati dan berfkir ulang
akan
sesuatu (gejala) dan bukan menghindarinya atau melawannya.
Langkah kedua Derefleksi Frankl percaya,
bahwa sebagian besar persoalan kejiwaan berasal dari perhatian yang terlalu
fokus pada diri sendiri. Oleh sebab itu R tidak boleh berfokus pada kejadian
yang dialaminya tetapi bukan berarti menghindari masalah tersebut.
Misalnya
mengalihkan perhatian dari diri sendiri dan mengarahkannya pada sesuatu yang
disenangi dulu sebelum
mengalami kecelakaan oleh diri R sendiri. Langkah yang terakhir adalahbimbingan Rohani. Bimbingan rohani
adalah metode yang khusus digunakan terhadap pada penanganan kasus dimana
individu berada pada penderitaan yang tidak dapat terhindarkan, atau dalam
suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya dan tidak mampu lagi berbuat selain
menghadapinya.
Pada
metode ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap dengan
menunjukkan sikap positif terhadap penderitaanya. Dalam rangka menemukan makna di balik
penderitaan tersebut. Subjek R
harus berfikir kalo kecelakaan yang dialami adalah murni kecelakaan yang tidak
bisa menyalahkan Tuhan sebagai penyebabnya. Tetapi seharusnya R percaya kalo kecelakaan ini akan
membuat Rmenjadi manusia
yang lebih
baik lagi dari pada sebelumnya. Dan percaya kalo Tuhan akan membantu setiap
masalah yang dihadapi oleh R
sendiri dan jika R dapat
menjalani hidupnya kembali. Maka R mungkin akan mendapat hal-hal yang lebih baik
lagi jika dia menjalani hidup bukan hanya meratapi apa yang sudah terjadi.
Frankl
menyatakan bahwa makna hidup bersifat unik sebagai momen pribadi. Setiap
situasi serta setiap kejadian selalu dapat menghadirkan suatu tantangan kepada
individu untuk mengungkap dan menjadikan makna. Melalui peristiwa kecelakaan
yang terjadi pada subjek terlihat bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam
setiap keadaan walaupun pada keadaan penderitaan sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar