Selasa, 10 Mei 2016

Tugas 3 Rational-Emotive Therapy, Behavior Therapy, & Group Therapy

Tugas psikometri iii
A.              Terapi Rational Emotive Therapy

1.       Konsep Dasar Konseling Rasional Emotif (RET)
Terapi Emotif Rasional adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualkan diri. Akan tetapi manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan yang tidak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme dan mencela diri serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang disfungional dan mencari berbagai cara untuk terlibat dalam sabotase diri.
Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.


Pandangan dari Rational Emotive Therapy
      Pandangan dari pendekatan rational emotive tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep teori Albert Ellis. Ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan teori ABC, yaitu :
a.       Antecedent event (A)
      Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecedent event bagi seseorang.
b.      Belief (B)
      Belif (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belif atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irasional belif atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berfikir atau sistem keyakinan yang tepat, masuk akal dan bijaksana. Sedangkan keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan yang sistem berfikir seseorang yang salah, tidak masuk akal dan emosional.
c.       Emotional consequence (C)
      Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam membentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecedent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara lain dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Dalam buku Psikologi konseling dan terapy, Corey memberinama REBT dengan RET. Menurut Corey (2005: 241) RET adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dengan jujur maupun untuk berpikir irrasional dan jahat.
Pendekatan rational emotive merupakan konseling yang menekankan kebersamaan antara berpikir dengan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku (Winkell, 1997 : 429).
            Berdasarkan pada apa yang telah dijelaskan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konseling REBT adalah suatu bentuk bantuan terhadap klien melalui konseling individu yang berusaha memahami manusia sebagaimana adanya yang berhubungan dengan emosi, kognisi, dan perilaku yang memiliki potensi untuk berpikir rasional maupun irrasional dan konseling REBT ini merubah keyakinan irrasional menjadi rasional.
2.      Unsur - unsur Rasional Emotif Therapy (RET)

a.       Tujuan Terapi
            Dalam kontek teori kepribadian, tujuan konseling merupakan efek (E) yang diharapkan terjadi setelah dilakukan intervensi oleh konselor (desputing/D). oleh karena itu teori TRE tentang kepribadian dalam formula A-BC dilengkapi pleh Ellis sebagai teori konseling menjadi A-B-C-D-E(antecedent event, belief, emotional consequence, desputing, dan effect). Efek yang dimaksud adalah keadaan psikologis yang diharapkan terjadi pada klien setelah mengikuti proses konseling.
b.      Peranan dan fungsi terapi
            Aktivitas-aktivitas terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasangagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis debagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang irasional dan tahayul yang berasal dari orangtuanya maupun dari kebudayaannya.
c.       Hubungan antara terapi dan klien
            Pola hubungan pada konseling ini berbeda denagn sebagian besar bentuk terapi yang lain. ide dasar pengembangan hubungan adalah menolong klien dalam hal menghindari sifat mengutuk diri sendiri. Disini terapis harus menunjukkan sifat penerimaan mereka secara penuh,tidak ada hubungan yang membertikan arti utama paad kehangatan pribadi dan pengertian empatik, dengan asumsi empatik bisa menjadi kontra produktif karena bisa memupuk rasa ketergantungan. Tetpi terapis menekankan hubungan saling mengerti dan membangun kerjasama dan terapis biasanya sanagt terbuka dan langsung dalam mengungkapkan keyakinan dan nilai mereka sendiri (Corey, 1995: 475-476).

d.      Tehnik dan Proses Terapi
1)      Teknik Emotive
Menurut Corey (1995) ada beberapa teknik emotif, yaitu: (1) assertive training; digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara terus menerus menyesuaikan dirinya dengan pola perilaku sesuai dengan yang diinginkannya, (2) sosiodrama; digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan klien (perasaanperasaan negatif) melalui suatu suasana yang dramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapan dirinya sendiri baik secara lisan, tulisan ataupun melalui gerakan-gerakan dramatis, (3) self modeling, digunakan dengan meminta klien untuk berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu. (4) irnitasi, digunakan dimana klien diminta untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi perilakunya sendiri yang negative.
2)      Teknik Behavioristik
Ada dua teknik behavioristik yaitu; (1). Reinforment, digunakan untuk mendorong klien kearah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal ataupun punishment, (2) Social modeling, digunakan untuk menggambarkan perilaku –perilaku tertentu, khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan sosial, interaksi dengan memecahkan masalah-masalah.
3)      Teknik Kognitif
Teknik kognitif yang cukup dikenal adalah Home Work Assigment atau teknik tugas rumah, digunakan agar klien dapat membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntun pola perilaku yang diharapkan.(Corey, 1995).
e.       Kelebihan dan Kekurangan Rational Emotive Therapy
1)Kelebihan
Pendekatan ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan demikian, perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
Berfikir logis yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi masalah yang lain. Klien merasa dirinya mempunyai keupayaan intelaktual dan kemajuan dari cara berfikir.
2)Kekurangan
Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logis dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu cerdas otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
Ada sebagian klien yang begitu terpisah dari realitas sehingga usaha untuk membawanya ke alam nyata sukar sekali dicapai. Ada juga sebagian klien yang memang suka mengalami gangguan emosi dan bergantung kepadanya dalam hidupnya, dan tidak mau berbuat apa-apa perubahan lagi dalam hidup mereka.

B.             Terapi Behavioral
Perkembangan pendekatan behavior diawali pada tahun 1950-an dan awal 1960-an sebagai awal radikal menentang perspektif psikoanalisis yang dominan. Pendekatan ini dihasilkan berdasarkan hasil eksperimen para behaviorist yang memberikan sumbangan pada prinsip-prinsip belajar dalam tingkah laku manusia. Pendekatan ini memiliki perjalanan panjang mulai dari penelitian laboratorium terhadap binatang hingga eksperimen terhadap manusia. Secara garis besar, sejarah perkembangan pendekatan behavioral terdiri dari tiga trend utama, yaitu: trend I: kondisional klasik (classical conditioning), trend II: kondisioning operan (operant conditioning), dan trend III: terapi kognitif (kognitif therapy) (Corey, 1986)
Terapi tingkah laku adalah pendekatan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berlandaskan pada berbagai teori tentang belajar dalam usaha melakukan pengubahan tingkah laku. Dalam penyelesaian masalah, kondisi masalah harus dispesifikkan. Saat ini, bentuk pendekatan ini banyak di gunakan karena penekanannya pada perubahan tingkah laku dimana tingkah laku tersebut bisa didefinisikan secara operasional, diamati dan diukur.
1.      Konsep Dasar Konseling Rasional Emotif (RET)
Gerald Corey menjelaskan bahwa terapi behavioral adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berkaitan dengan pengubahan tingkah laku. Pendekatan, teknik, dan prosedur yang dilakukan berakar pada berbagai teori tentang belajar.  Terapi behavior adalah salah satu teknik yang digunakan dalam menyelesaikan tingkah laku yang ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, yang dilakukan melalui proses belajar agar bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif, lalu mampu menanggapi situasi dan masalah dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Aktifitas inilah yang disebut sebagai belajar.
Sebelum kita mengulas tentang proses dan penerapan dari terapi ini, kita perlu tahu pandangan dasar dari terapi ini pada manusia itu sendiri. Dimana landasan pijakan terapi tingkah laku ini yaitu pendekatan behavioristik, pendekatan ini menganggap bahwa “Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari”. Ini merupakan anggapan dari behavioristik radikal. Namun behavioristik yang lain yaitu behavioristik kontemporer, yang merupakan perkembangan dari behavioristik radikal menganggap bahwa setiap individu sebenarnya memiliki potensi untuk memilih apa yang dipelajarinya. Ini bertentangan dengan prinsip behavioris yang radikal, yang menyingkirkan kemungkinan individu menentukan diri. Namun, meskipun begitu, kedua behaviorisme ini tetap berfokus pada inti dari behaviorisme itu sendiri yaitu bagaimana orang-orang belajar dan kondisi-kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka.

a.       PANDANGAN TENTANG MANUSIA
Pendekatan behavioral didasarkan pada pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia yang menekankan pada pentingnya pendekatan sistematik dan terstruktur pada konseling. Pendekatan behavioral berpendapat bahwa perilaku dapat dimodifikasi dengan mempelajari kondisi dan pengalaman. Menurut Latipun (2010) mengatakan bahwa pandangan tentang manusia pada pendekatan behavioristik:
1)      Memandang manusia secara intrinsic bukan sebagai baik atau buruk, tetapi sebagai hasil dari pengalaman yang memiliki potensi untuk segala jenis perilakunya.
2)      Menusia mampu untuk mengkonsepsikan dan mengendalikan perilakunya.
3)      Manusia mampu mendapatkan perilaku baru.
4)      Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi orang lain.

b.      KONSEP DASAR PENDEKATAN BEHAVIORISTIK
Pendekatan behavioral didasari oleh pandangan ilmiah  tetang tigkahlaku manusia yaitu pendektan ynag sistemati dan terstruktur dala konseling. Pandangan ini melihat indvidu sebagai produk dari kondisioning sosial, sedikit sekali melihat potensi manusia sebagai produse lingkungan. (Corey, 1986, p. 175). Pada awalnya pendekatan ini hanya mempercayai hal yang dapat diamati dan dukur sebagai sesuat yang sah dalam pengukuran keribadian. Kemudian pendekatan ini dikembagkan lebi lanjut yang mulai menerima fenomena kejiwaan  yang abstrak seperti id, ego, dan ilusi endekatan ini memendang perilaku yag malasua sebagai hasil belajar dari lingkngan secara keliru.

c.       PERILAKU BERMASALAH MENURUT PENDEKATAN BEHAVIORISTIK
Menurut Latipun (2010), perilaku yang bermasalah dalam  pandangan behavior dapat dimaknakan sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang salah  penyesuaian terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Dan perilaku juga dikatakan mengalami salah penyesuaian jika tidak selamanya membawa individu konflik dengan lingkungannya. Perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah perilaku yang bukan sekadar memperoleh kepuasan pada jangka pendek, tetapi perilaku yang tidak menghadapi kesulitan-kesulitan yang lebih luas, dan dalam jangka yang lebih panjang.

d.      TEKNIK FLOODING
Pembanjiran (flooding) merupakan teknik modifikasi perilaku berdasarkan prinsip teori yang dikemukakan oleh B.F. Skinner. Pembanjiran (flooding) adalah membanjiri konseli dengan situasi atau penyebab kecemasan atau tingkah laku tidak dikehendaki, sampai konseli sadar bahwa yang dicemaskan tidak terjadi. Pembanjiran harus dilakukan hati-hati karena mungkin akan terjadi reaksi emosi sangat tinggi. Pembanjiran sesuai untuk menangani kasus fobia. Tujuannya untuk menurunkan tingkat rasa takut yang ditimbulkan, dengan menggunakan stimulus yang dikondisikan (condition stimulus) yang dimunculkan secara berulang-ulang sehingga terjadi penurunan, tanpa member penguatan (reinforcement).

e.       CARA-CARA PENERAPAN FLOODING
Menurut Komalasari (2011) terdapat dua cara melakukan pembanjiran yang dijadikan alternatif bagi konselor dalam menerapkan flooding:
1)      Invivo
Konselor mencoba membawa konseli hadir pada situasi atau stimulus yang menimbulkan rasa takut dengan segera selama terapi berlangsung, dilakukan selama 1 jam atau lebih setiap sesinya, disertai pencegahan terhadap perilaku untuk menghindari atau lari dari situasi tersebut. Pada kasus-kasus dengan tingkat rasa takut yang sangat tinggi, flooding dapat dilakukan secara bertahap. Misal takut akan ketinggian, dimulai dengan mengajak konseli melihat ke jendela dari ruang lantai 1, lantai 2, sampai ke lantai 10.
2)      Imajeri
Stimulus yang menakutkan bisa dihadirkan juga dengan membayangkan, konselor akan membuat gambaran situasi yang semakin meningkatkan rasa takut dan semakin mencemaskan. Pengalaman konseli membayangkan tanpa disertai akibat yang dahsyat dapat menurunkan tingkat rasa takutnya, dan ia akan siap menghadapi situasi sebenarnya. Tetapi berdasarkan pendapat ahli, proses mengalami langsung lebih efektif. Teknik ini basa digunakan untuk kasus-kasus fobia, obsesif, psikotik. Teknik flooding dikembangkan oleh Stampfl (dalam Komalasari, 2011) dengan nama terapi implosif. Langkah-langkah terapi implosif adalah:
a)      Pencarian stimulus yang memicu gejala.
b)      Menaksir bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala membentuk perilaku konseli.
c)      Meminta konseli membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkan tanpa disertai celaan atas kepantasan situasi yang dihadapi.
d)     Bergerak semakin dekat kepada ketakutan paling kuat yang dialami konseli, dan meminta konseli untuk membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya.
e)      Mengulang prosedur tersebut sampai kecemasan tidak muncul lagi dalam diri konseli.

f.       PENJENUHAN
Menurut Komalasari (2011), penjenuhan (satiation) adalah varian dari flooding untuk self control. Kontrol diri (self control) berasumsi bahwa tingkah laku dipengaruhi variabel eksternal. Kontrol diri adalah bagaimana individu mengontrol variabel eksternal yang menentukan tingkah laku. Hal ini dilakukan dengan memindahkan atau menghindar (removing/avoiding) dari situasi berpengaruh buruk. Memperkuat diri (reinforce oneself) yaitu memberi reinforcement kepada diri sendiri, terhadap “prestasi” dirinya. Janji nonton kalau prestasi belajar baik. Self punishment yaitu menghukum diri sendiri bisa hukuman fisik atau mengurangi hak-haknya seperti menonton TV atau membeli makanan atau barang yang diinginkannya.
Penjenuhan (satiation) adalah membuat diri jenuh terhadap suatu tingkah laku, sehingga tidak lagi bersedia melakukannya. Menurunkan atau menghilangkan tingkah laku yang tidak dinginkan dengan memberikan reinforcement yang semakin banyak dan terus menerus, sehingga individu merasa puas dan tidak akan melakukan tingkah laku yang tidak diinginkan lagi.

2.      Penerapan Terapi : Teknik dan Prosedur

a.       Training Relaksasi, merupakan teknik untuk menanggulangi stress yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, yang mana seringnya dimanifestasikan dengan simtom psikosomatik, tekanan darah tinggi dan masalah jantung, migrain, asma dan insomnia. Tujuan metode ini sebagai relaksasi otot dan mental. Dalam teknik ini, klien diminta rileks dan mengambil posisi pasif dalam lingkungannya sambil mengerutkan dan merilekskan otot secara bergantian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menarik nafas yang dalam dan teratur sambil membanyangkan hal-hal yang menyenangkan.
b.       Desensitisasi Sistemik, merupakan teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi juga dapat diterapkan pada penanganan situasi penghasil kecemasan seperti situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik serta impotensi dan frigiditas seksual. Teknik ini melibatkan relaksasi dimana klien dilatih untuk santai dan keadaan-keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan tersebut terhapus.

c.       Latihan Asertif, merupakan teknik terapi yang menggunakan prosedur-prosedur permainan peran dalam terapi. Latihan asertif ini akan membantu bagi orang-orang yang:
•           Tidak mampu mengungkapkan kemarahan/perasaan tersinggung
•     Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya.
•           Memiliki kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’.
•           Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya.
•           Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Fokus terapi ini adalah mempraktekkan kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh melalui permainan peran sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketidakmemadaiannya dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara terbuka disertai kenyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.

d.      Pencontohan (modelling methods), melalui proses pembelajaran observasi, para klien dapat belajar untuk melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan tanpa proses belajar trial-and-error. Teknik dapat dilakukan untuk memodifikasi perilaku. Contohnya, seseorang yang takut ular, maka ketakutannya dapat dihilangkan atau direduksi dengan melihat orang lain yang tidak takut menghadapi ular.
e.       Self-Management Programs, Teknik ini mencoba menyatukan unsur kognitif dalam proses perubahan perilaku, dengan asumsi bahwa klienlah yang paling tau apa yang mereka butuhkan. Konselor yang mempertimbangkan apakah sesi terapi berjalan baik atau tidak, disini konselor merupakan mediator.
f.       Self-Directed Behavior, merupakan teknik dimana perubahan perilaku diarahkan pada diri klien itu sendiri. Klienlah harus merasa bahwa terapi ini penting untuk mengatasi masalahnya. Contohnya, dalam masalah obesitas. Hal yang dapat dilakukan yaitu misalnya meminta klien untuk menuliskan program perubahan dirinya dalam diari. Jam berapa dan berapa kali ia akan makan. Jika ia tidak berhasil, ia harus menuliskan perasaan dan sebab-sebab hal tersebut didalam diarinya. Atau jika program telah dijalankan, klien dapat memberikan hadiah untuk dirinya sendiri misalnya pergi shopping.
g.      Multimodal Terapi, didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan klien selama terapi maka akan semakin sedikit kemungkinan klien akan mengalami masalah lamanya. Teknik ini menggunakan pendekatan BASIC ID (behavior, affective respons, sensations, images, cognitions, interpersonal relationships, dan drugs/biology).

C.               Terapi kelompok

2.       Konsep Dasar Group Therapy
Terapi Kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal. Keuntungan yang diperoleh individu melalui terapi aktivitas kelompok ini adalah dukungan (support), pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan hubungan interpersonal dan meningkatkan uji realitas sehingga terapi aktivitas kelompok ini dapat dilakukan pada karakteristik gangguan seperti : gangguan konsep diri, harga diri rendah, perubahan persepsi sensori halusinasi, klien dengan perilaku kekerasan atau agresif dan amuk serta menarik diri/isolasi sosial.
Selain itu, dapat mengobati klien dalam jumlah banyak, dapat mendiskusikan masalah-masalah secara kelompok, menggali gaya berkomunikasi, belajar bermacam cara dalam memecahkan masalah, dan belajar peran di dalam kelompok. Namun, pada terapi ini juga terdapat kekurangan yaitu : kehidupan pribadi klien tidak terlindungi, klien kesulitan mengungkapkan masalahnya, terapis harus dalam jumlah banyak. Dengan sharing pengalaman pada klien dengan isolasi sosial diharapkan klien mampu membuka dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga keterampilan hubungan sosial dapat ditingkatkan untuk diterapkan sehari-hari.
Terapi kelompok adalah terapi yang dilakukan melalui sebuah kelompok namun memiliki kegiatan yang terstruktur dan memberikan efek terapeutik bagi anggotanya. Efek terapeutik yaitu kegiatan yang dilakukan dalam kelompok akan memberikan efek terapi kepada masing-masing anggota. Mereka akan belajar untuk membuka diri mereka, menceritakan masalah mereka, mendengar pendapat atau saran dari anggota lain.

3.      Cara Melakukan Terapi Kelompok
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam terapi kelompok adalah:
a.       Tahap Intake
Tahap ini ditandai oleh adanya pengakuan dari klien mengenai masalahnya  yang mungkin tepat dipecahkan melalui terapi kelompok ataupun terapis juga dapat menelaah situasi yang dialami klien. Tahap intake disebut juga sebagai tahap kontrak antara terapis dengan klien, karena pada tahap ini terdapat persetujuan dan komitmen antara terapis dan klien untuk melakukan kegiatan-kegiatan perubahan tingkah laku melalui terapi kelompok.
b.      Tahap Assesmen dan Perencanaan Intervensi
Terapis dan para anggota terapi (klien) mengidentifikasi permasalahan, tujuan-tujuan kelompok serta merancang rencana tindakan pemecahan masalah. Pada tahap ini juga dibahas tempat atau ruangan pelaksanaan terapi kelompok, frekuensi pertemuan, lama pertemuan dan waktu yang dibutuhkan.
c.       Tahap Penyeleksian Anggota
Penyeleksian anggota untuk membentuk suatu kelompok harus dilakukan terhadap orang-orang yang paling mungkin mendapatkan manfaat dari keterlibatannya dalam kelompok. Dalam pembentukan kelompok harus mempertimbangkan tipe permasalahan, persamaan tujuan, persamaan jenis kelamin untuk masalah-masalah tertentu dan tingkatan umur.
Minat dan ketertarikan individu terhadap kelompok juga penting diperhatikan, karena anggota yang memiliki perasaan positif terhadap kelompok akan terlibat dalam berbagai kegiatan kelompok secara teratur.
d.      Tahap Pengembangan Kelompok
Norma-norma, harapan-harapan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan kelompok akan muncul dalam tahap ini sehingga dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aktivitas serta relasi yang berkembang dalam kelompok. Oleh karena itu, pada tahap ini terapis memegang peranan penting untuk dapat membantu kelompok mencapai tujuan.
1)      Taraf permulaan. Dalam langkah ini, terapis perlu membicarakan apakah waktu yang telah ditentukan dan disepakati bersama itu tetap bisa dilaksanakan, lalu menyampaikan bagaimana komunikasi antara anggota yang satu dengan yang lainnya karena tiap anggota harus saling menghormati agar apabila anggota yang satu sedang berbicara maka anggota yang lain dapat memperhatikan, adanya keterbukaan antara anggota yang satu dengan yang lain serta dengan terapis, lalu menyampaikan bagaimana komunikasi antara anggota kelompok dengan terapis, serta adanya kesepakatan untuk menjaga kerahasiaan.
2)      Mengembangkan dan memelihara situasi kelompok.
3)      Melakukan diskusi, saling berbagi pendapat dan pengalaman, serta memecahkan masalah
e.       Tahap Evaluasi dan Terminasi
Dalam langkah ini terapis perlu melihat sejauh mana keberhasilan terapi kelompok yang telah dijalankan melalui evaluasi. Berdasarkan hasil evaluasi, maka dilakukanlah terminasi atau pengakhiran kelompok. Terminasi dilakukan berdasakan pertimbangan dan alasan mengenai tujuan individu maupun kelompok tercapai, waktu yang ditetapkan telah berakhir, kelompok gagal mencapai tujuan-tujuannya, serta keberlanjutan kelompok dapat membahayakan satu atau lebih anggota kelompok.

3.      Manfaat Terapi Kelompok
a.       Dapat mengidentifikasi masalah bersama orang lain yang memiliki permasalahan yang sama
b.      Dapat membantu klien untuk meningkatkan hubungan interpersonal dengan klien lain sehingga setiap dari mereka dapat saling mendukung
c.       Dapat membantu menghilangkan perasaan-perasaan terisolasi dalam diri klien
d.      Dapat membantu menghilangkan kecemasan-kecemasan yang dirasakan oleh klien
e.       Dapat mendorong klien untuk membicarakan perasaan-perasaan batinnya dengan sepenuh hati
f.       Dapat membantu klien untuk melepaskan ketegangan dalam diri yang telah dipendam
g.      Dapat meningkatkan klien untuk berpartisipasi serta bertukar pikiran dan masalah dengan orang lain.

4.      Kasus-kasus yang Diselesaikan Dalam Terapi Kelompok
Terapi kelompok dapat menjadi terapi pilihan untuk orang yang masalahnya terutama antarpribadi dan yang tidak mengalami gangguan psikiatrik utama. Terapi kelompok juga baik untuk orang yang hanya memerlukan tempat dimana ia dapat mencoba perilaku yang baru dan mempraktekkan keterampilan sosial yang baru. Berikut kasus-kasusnya :
a.       Kecanduan alcohol, obat-obat terlarang dan rokok
b.      Kekerasan seksual
c.       Stress dalam menghadapi penyakit yang di derita
d.      Trauma
e.       Korban bullying
f.       Insomnia
g.      Permasalahan hubungan sosial
h.      Orang yang mengalami masalah emosional
i.        Siswa yang mengalami kesulitan belajar

Referensi:

Corey Gerald. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan E. Koeswara. Bandung: Refika Aditama.
Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
Gunarsa, Singgih. (2012). Konseling dan psikoterapi. Jakarta: BPK
Komalasari, Gantina. 2011.  Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT. INDEKS.
Mappiare, Andi AT, 2009, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: KANISIUS
Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius.
Sunardi, Permanarian, & Assjari M. (2008). Teori konseling. Bandung: PLB FIP UPI.
Tomb, D.A. (2003). Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC
W.S. Winkel dan M.M. Sri Hastuti. (2004) Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi
www.psychologymania.com